Dalam pelaksanaan mengajar di sekolah, guru mempunyai peranan yang
sangat besar demi tercapainya proses belajar yang baik. Sehubungan dengan
peranan ini, seorang guru dituntut harus mempunyai kompetensi yang memadai
dalam hal pengajaran di sekolah. Kurangnya kompetensi guru dapat menyebabkan
pelaksanaan mengajar menjadi kurang lancar yang mengakibatkan siswa tidak
senang dengan pelajaran sehingga siswa dapat mengalami berbagai kesulitan
belajar dan pada akhirnya hasil belajar menurun.
Pendekatan Triarchic
Instruction and Assesment atau
disingkat TIA yang artinya instruksi dan penilaian triarki, di samping
mempunyai tujuan khusus yaitu untuk mengembangkan kemampuan berpikir analitis,
kreatif dan praktis, juga memiliki tujuan yang lebih luas. Salah satu tujuan
TIA adalah menciptakan suatu lingkungan pembelajaran dimana peserta didik
dengan aman dapat mengatakan,”Saya perlu mempelajari hal ini dengan cara
lain”(Bukannya, ”saya tak akan pernah mempelajari masalah ini”). Pada
gilirannya pendidik juga dengan rasa aman dapat menanggapi dan mengatakan,”
Saya akan mengajarkan masalah ini dengan cara lain” (Bukannya, ”Saya tak akan
pernah mampu mengajarkan masalah ini kepada peserta didik”).
Salah satu alternatif serupa itu adalah pembelajaran
konvensional yang menekankan memori dan berpikir kritis. Sternberg (Grigorenko,
Sternberg, 2010: 38) menyatakan bahwa “Riset menunjukkan bahkan seandainya
tujuan guru semata-mata mengasah ingatan akan pengetahuan faktual, ia akan
mendapatkan hasil-hasil yang lebih baik dengan menggunakan pendekatan TIA
daripada dengan mengasah ingatan secara langsung”. Akan tetapi pada program pendidikan
tampaknya mengembangkan kecerdasan satu pola saja, yaitu kecerdasan analitis
dan bahkan mengabaikan dua pola lainnya, yaitu kecerdasan kreatif dan praktis
yang sangat penting untuk menjalani kehidupan dengan sukses. Menjadi mumpuni
dalam salah satu kemampuan berpikir mungkin tidak akan cukup untuk menjadikan kita sukses dalam
kehidupan. Sternberg (Grigorenko, Sternberg, 2010) telah menengarai kemampuan
berpikir analitis, kreatif dan praktis sebagai penyusun kecerdasan sukses dan
telah disadari bahwa orang-orang sukses menggunakan ketiga kemampuan tersebut
untuk meraih kesuksesan.
Penerapan TIA ini terdiri dari mengajarkan berpikir
analitis, kreatif, dan praktis.
a.
Mengajarkan Berpikir Analitis
Sternberg, Grigorenko (2010: 55) mengatakan bahwa
“Kecerdasan analitis merupakan komponen pertama dalam kecerdasan sukses. Hal
ini meliputi pengarahan secara sadar atas proses mental untuk menemukan solusi
yang masuk akal atas suatu permasalahan”.
Contohnya adalah apabila kita akan membeli suatu barang
tetapi karena satu dan lain hal uang kita tidak cukup untuk membeli barang
tersebut. Dari contoh tersebut dapat diselesaikan oleh proses kecerdasan
analitis karena tujuan dari kecerdasan berpikir analitis adalah perpindahan
dari suatu masalah menuju suatu solusi.
b.
Mengajarkan Berpikir Kreatif
Kreativitas merupakan suatu keputusan. Orang-orang yang
kreatif adalah seperti investor yang baik: mereka membeli saat harga rendah dan
menjualnya dengan harga tinggi. Namun, perbedaannya pada tempatnya. Para
Investor melakukan hal itu di dunia keuangan tetapi orang-orang kreatif melakukannya di dunia ide-ide.
Para pendidik sebaiknya mendorong dan mengembangkan
kreativitas dengan mengajar para peserta didik menemukan keseimbangan antara
berpikir analitis, kreatif, dan praktis. Pada umumnya pendidik ingin mendorong
kreativitas peserta didiknya namun pada kenyataannya tidak sedikit pendidik
yang mengetahui secara pasti bagaimana melakukannya. Berikut akan dipaparkan
strategi-strategi untuk berpikir kreatif yang diciptakan oleh Sternberg,
Grigorenko (2010: 88).
Strategi untuk
berpikir kreatif, diantaranya:
·
Mendefinisikan kembali masalah
Penerapan di
kelas: pendidik dapat mendorong peserta didik untuk menemukan suatu pertanyaan
yang berbeda dalam menanyakan masalah matematika yang dihadapinya.
· Mempertanyakan
dan menganalisis asumsi-asumsi
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat mendorong peserta didik untuk mempertimbangkan.
· Menjual
ide-ide kreatif
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat mendorong peserta didik untuk meyakinkan teman kelas bahwa
metode-metode pemecahan masalah matematika yang mereka ajukan adalah betul.
· Membangkitkan
ide-ide
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat meminta kepada peserta didik membuat soal matematika dalam
bentuk soal cerita.
· Mengenali
dua sisi pengetahuan
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat mendorong peserta didik untuk mempertimbangkan suatu cara
pemecahan soal matematika yang selalu mereka gunakan lalu mencobanya dengan
cara yang lain.
· Mengidentifikasi
dan mengatasi hambatan
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat meminta peserta didik untuk membandingkan metode baru dalam
menyelesaikan masalah perkalian dengan metode umum, dan menyempurnakan metode baru tersebut sehingga
dengan metode itu lebih efisien dibanding dengan metode umum.
· Mengambil
risiko-risiko dengan bijak
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat mendorong peserta didik untuk mencoba memecahkan pembuktian luas
daerah segitiga yang sulit.
· Menoleransi
ambiguitas
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat menanyakan kepada peserta didik untuk tetap mencoba memecahkan
masalah yang sampai saat ini belum terpecahkan keseluruhannya.
· Membangun
keandalan-diri
Penerapan di kelas:
Pendidik dapat mendorong peserta didik meluangkan waktu untuk memecahkan soal
keliling dan luas daerah segitiga yang cukup sulit.
· Menemukan
minat sejati
Penerapan di kelas: Pendidik dapat mendorong peserta
didik untuk memahami penggunaan matematika dalam olahraga.
· Menunda
kepuasan
Penerapan di kelas: Pendidik dapat mengingatkan peserta
didik untuk menyelesaikan soal keliling dan luas daerah segitiga yang demikian
rumit.
· Membuat
model kreativitas
Penerapan di kelas: Pendidik dapat menyuruh peserta didik
menulis soal matematika berdasarkan olahraga yang menarik perhatian mereka.
Menurut Bawazir (2009)
ciri-ciri kreatif adalah (1) berpikir lancar dengan mengajukan banyak
pertanyaan, jawaban dan gagasan; (2) berpikir luwes dengan menghasilkan gagasan
atau jawaban atau pertanyaan yang variatif, dapat melihat suatu masalah dari
sudut pandang yang berbeda-beda; (3) berpikir orisinal dengan mampu melahirkan
ungkapan, gagasan baru yang unik, tidak lazim dipikirkan orang; (4)
mengevaluasi dengan menentukan patokan penilaian sendiri, mampu mengambil
keputusan pada situasi yang terbuka, bersikap kritis; (5) kritis dengan selalu
terdorong untuk mengetahui segala hal; (6) imajinatif dengan membayangkan
berbagai hal yang belum pernah terjadi; (7) tertantang oleh kemajemukan dengan
tertarik pada situasi dan masalah yang rumit; (8) berani mengambil resiko
dengan berani mengemukakan jawaban atau gagasan, meskipun belum tentu benar
atau diterima, tidak takut gagal, tidak terikat pada hal yang
berstruktur/konvensional; (9) sifat menghargai dengan menghargai kritik,
bimbingan orang lain, maupun kemampuan dan bakatnya sendiri; (10) mengelaborasi
dengan memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, menambah atau
merinci detail-detail suatu objek, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik.
c.
Mengajarkan Berpikir Praktis
Sternberg, Grigorenko (2010: 139)
mengatakan bahwa hampir tiap orang mengetahui bahwa para pemikir yang baik itu
seringkali membuat berbagai kesalahan dan gagal melaksanakan tugasnya.
Pemikiran bagus mereka seolah-olah sia-sia ketika mereka berkonfrontasi dengan
masalah praktis, masalah-masalah dunia nyata.
Kesalahan dan kegagalan
terkadang membuat orang tersebut menjadi berhenti untuk menggapai tujuan
awalnya. Agar kita mengetahui apa saja yang menjadi penghalang dalam berpikir
praktis. Berikut akan dipaparkan sesuai dengan yang diungkapkan Sternberg dan
Grigorenko.
Daftar penghalang berpikir praktis, sebagai berikut:
· Kurangnya
motivasi
· Kurangnya
pengendalian nafsu
· Kurangnya
ketekunan atau ketekunan yang berlebih-lebihan
· Menggunakan
kemampuan yang salah
· Ketidakmampuan
menerjemahkan pikiran kedalam tindakan
· Kurangnya
orientasi pada produk
· Ketidakmampuan
menyelesaikan tugas dan melanjutkannya
· Kegagalan
mengawali proyek
· Takut
gagal
· Menunda-nunda
atau menangguh-nangguhkan
· Kekeliruan
dalam menemukan penyebab masalah
· Terlalu
mengasihani diri
· Ketergantungan
yang berlebih-lebihan
· Berkutat
dalam kesulitan-kesulitan pribadi
· Kekacauan
pikiran dan lemahnya konsentrasi pikiran
· Terlalu
sedikit atau terlalu lebar dalam membuka diri
·
Ketidakmampuan atau keengganan untuk melihat masalah
dalam perspektif yang lebih luas atau menyeluruh
·
Kurangnya keseimbangan antara berpikir analitis, kreatif
dan praktis.
·
Rasa percaya diri yang terlalu kecil atau besar.
Kegiatan
alur pembelajaran ini telah disusun secara berurutan oleh Sternberg (2010:
241-242), oleh karena itu pendidik harus menghafalkan keempat model instruksi
yang efektif sebagai berikut ini:
1.
Ceritakan
kepada saya. Pendidik menjelaskan kepada peserta didik apa
tujuan-tujuan unit dan apakah mereka mengetahui atau menguasai tujuan-tujuan
dari unit tersebut. (sebagai contoh,”Saya ingin kamu mengetahui bagaimana
caranya membuat suatu daftar dalam sebuah tulisan.”)
2.
Tunjukkan
kepada saya. Pendidik menjelaskan kepada peserta didik keterampilan
apa saja yang ditargetkan (Misalnya:”Mari kita buat suatu daftar bersama-sama.
Mari kita susun suatu daftar makanan favorit kita”.)
3.
Bimbinglah
saya. para pendidik melatih peserta didik. (sebagai
contoh,”sekarang buatlah daftar aktivitas favoritmu. Ingat bahwa
persyaratan-persyaratan untuk sebuah daftar mencakup ...”)
4.
Tantanglah
saya. para pendidik menguji pengetahuan peserta didik.
(sebagai contoh,” Sekarang setiap dari anda butuh untuk memikirkan suatu daftar
yang ingin dibuat dan tunjukkan kepada saya daftar anda tersebut”.)
Dalam hal ini, diharapkan individu berpikir analitis,
kreatif dan praktis (kecerdasan triarchic)
ketika dikaitkan dengan pengetahuan siswa yang didapat, maka pendekatan TIA
akan lebih mudah mengatasi masalah-masalah matematika siswa. Sehingga individu
harus terus menerus menganalisis berbagai situasi, menggunakan sumber daya
pribadi secara inovatif dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya (belajar
atau tempat kerja). Jika banyak individu menerima bahwa dunia tenaga kerja
modern menjadikan kemampuan analitis, kreatif dan praktis bukan sekedar sebagai
keutamaan, tetapi sebagai keharusan, menurut Grigorenko, Sternberg (2010: 38)
mengatakan bahwa maka logis saja jika disimpulkan penguasaan keterampilan
analitis, kreatif dan praktis harus menjadi suatu hasil penting pendidikan.
Sehingga dapat tercapai tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan oleh
pemerintah. Hal ini pun memungkinkan para siswa belajar dengan cara yang paling
baik dan sesuai dengan keinginan mereka dan oleh sebab itu, mereka akan lebih
termotivasi untuk belajar memecahkan permasalahan-permasalahan matematika lebih
lanjut.
Referensi
Farida, I. (2005). Pembelajaran Matematika dengan Metode Problem-Centered-Learning Sebagai
Upaya untuk Meningkatkan kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa MAN.
Skripsi. Jurusan Pendidian Matematika FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Hudojo, H. (2003). Common Textbook (edisi Revisi) Pengembangan Kurikulum dan Pembelajran
Matematika. Bandung: FPMIPA UPI.
Kesumawati, Nila. 2010. Peningkatan Kemempuan Pemahaman, Pemecahan
Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik. Disertasi Doktor pada SPs UPI bandung; tidak diterbitkan.
Nurlaela, W. (2005). Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dan Kontribusinya Terhadap
Peningkatan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Skripsi. Jurusan
Pendidian Matematika FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Ruseffendi,
E.T. (2001). Dasar-dasar Penelitian
Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: CV.IKIP Semarang
Press.
Shulfan.(2009).Matematika dan masa
depan. [Online]. Tersedia:google.com.
[01 Juni 2011]
Suciana, Nita. (2006). Pengaruh Model Pembelajaran
SLIM-n-BIL terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa. Skripsi.
Jurusan Pendidian Matematika FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan.
Suherman, E.
(2001). Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Penerbit JICA.
…………. (2003). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran
Matematika. Makalah. Jurdikamat FPMIPA UPI: Tidak Diterbitkan.